Jumat, 27 Mei 2011

Korupsi di Riau; Penegakan Hukum hanya Retorika

Kekayaan alam yang melimpah ruah seharusnya menjadi potensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lain orang, lain kepala. Di Riau sumber daya alam yang merupakan 'harta karun', oleh sebagian para penguasanya dianggap sebagai potensi besar untuk menambah kekayaan pribadi.Memasuki era otonomi daerah, tidak mustahil di Riau adalah lahan subur bagi tumbuhnya korupsi, karena uang triliun rupiah beredar di wilayah minyak ini. Tidak mengherankan jika Riau masuk dalam daftar target operasi pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pusat.

Maka, tidak aneh jika banyak pejabat Riau akhir-akhir ini harus berurusan dengan pihak kejaksaan, karena terlibat penyelewengan keuangan daerah.

Namun, patut disayangkan, semangat penegakan hukum di Bumi Lancang Kuning ini dapat dikatakan masih sebatas retorika. Institusi hukum seperti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Kepolisian Daerah (Polda) Riau, dan pengadilan terekam belum bernyali menyeret penjahat berdasi ke proses pengadilan apalagi sampai ke rumah prodeo.

Buktinya, Kejati Riau belum juga menuntaskan lima kasus korupsi yang disorot masyarakat. Padahal, penyidikan sudah berlangsung hampir setahun. Pejabat Kejati Riau selalu melontarkan alasan klasik ketika penyidikan tidak kunjung usai.

Ketika Media menanyakan beberapa kasus yang belum diusut jawabannya selalu, ''Proses hukum terus berjalan, pemeriksaan saksi-saksi masih berlanjut, atau pemberkasan belum rampung.''

Masyarakat yang mendengar alasan itu hanya bisa mengelus dada melihat ketidakadilan hukum yang pertontonkan penegak hukum di Riau ini. Wajar jika lambannya penyidikan menyebabkan masyarakat berprasangka buruk terhadap jaksa. Istilah yang lazim diucapkan para kuli disket, kasus sudah di-86-kan.

Berdasarkan catatan Media, setidaknya, saat ini Kejati Riau tengah memproses lima kasus korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif maupun legislatif. Di antaranya, kasus korupsi 'berjemaah' yang dilakukan 45 anggota DPRD Kampar periode 1999-2004. Dalam kasus korupsi dana APBD Rp1,125 miliar itu kejaksaan baru menetapkan satu orang sebagai tersangka, yakni mantan Ketua DPRD Kampar Syaifuddin Efendi.

''Iktikad jaksa di Riau memberantas kejahatan kerah putih patut dipertanyakan. Sepertinya penegakan hukum berjalan di tempat. Tidak ada yang berubah di negeri ini,'' kata Direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH) Riau Ali Husin Nasution.

Berikutnya, korupsi yang melibatkan para anggota DPRD Siak periode 1999-2004 dan pejabat Pemerintah Kabupaten Siak. Wakil rakyat dan birokrat setempat bermufakat menyelewengkan dana APBD 2001 sampai 2004. Dalam pemeriksaan sembilan saksi di Kejati Riau pada Januari 2005, terungkap biaya kegiatan Dewan melebihi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110/2003 dan biaya kunjungan kerja tidak dilengkapi bukti-bukti.

Dari Kabupaten Rokan Hilir dilaporkan anggota DPRD setempat menyelewengkan dana publik mencapai Rp8,7 miliar, lagi-lagi dengan dalih uang purnabakti, asuransi, tunjangan, dan renovasi ruang sidang.

Data yang disusun oleh Himpunan Pemuda Mahasiswa Rokan Hilir (Hipemarohi) menyebutkan sebagian dana APBD 2000 sampai 2003 digunakan untuk kepentingan pribadi.

Masih dari Rokan Hilir, korupsi juga merambah Dinas Kehutanan setempat. Sejumlah pejabat dinas 'basah' itu diduga menyelewengkan dana reboisasi di Kota Ujung Tanjung, Kecamatan Tanah Putih. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp4 miliar lebih. Kini kasusnya masih ditangani Kejati Riau.

Terakhir, dugaan korupsi yang dilakukan mantan Wali Kota Dumai periode 2000-2005 Wan Syamsir Yus. Saat masih menjadi wali kota, Wan Syamsir Yus menerbitkan Surat Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk empat perusahaan secara tidak sah. Keempat perusahaan beroperasi di hutan penyangga dan habitat harimau seluas 60.000 hektare. Dalam kasus ini, negara dirugikan Rp400 juta karena empat perusahaan tidak menyetorkan dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan sejak 2002.

Kejaksaan Agung sudah menetapkan Wan Syamsir Yus sebagai tersangka pada 2004. Namun, pengusutan Skandal Dumai ini adem-ayem saja di Kejati Riau sampai sekarang.

Sikap apatis masyarakat memandang kinerja Kejati Riau tergambar dari ungkapan Direktur Badan Advokasi Publik Rawa El Amady. Rawa menganggap percuma saja masyarakat melaporkan kasus korupsi ke Kejati Riau, sebab kasus demi kasus hanya ditumpuk di meja jaksa, tidak ditindaklanjuti sampai pengadilan. (Media Indonesia)

Selasa, 29 Maret 2011

Pemprov Riau Tak Tepati Janji

Tribun Pekanbaru - Selasa, 1 Maret 2011 15:43 WIB
Share |
Laporan: Raya Nainggolan

TribunPekanbaruNews.com- Janji pemerintah Provinsi Riau untuk menyerahkan data aliran dana bantuan sosial APBD 2010 hingga kini tak kunjung ditepati. Padahal, badan anggaran DPRD Riau sudah mengultimatum agar data terkait penggunaan duit sebesar Rp 269 miliar dalam pos bantuan sosial itu diserahkan segera. Namun, hingga kini pihak pemprov justru tak menggubris bahkan mengabaikannya.

Anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan, Zukri Misran kepada Tribun, Selasa (1/3/2011) menyatakan, dalam rapat yang berlangsung pertengahan Januari lalu, Sekretaris Daerah Provinsi Riau Wan Syamsir Yus menyanggupi untuk segera memberikan data tersebut. Kala itu, dewan memberikan batasan waktu paling lama dua pekan setelah rapat digelar.

"Tapi sudah berlalu sebulan lebih, sampai sekarang belum diserahkan. Kenapa pemprov terkesan ingkar janji," kata Zukri di Kantor DPRD Riau.

Zukri menambahkan, dewan memerlukan data aliran dana untuk memastikan penggunaan anggaran bansos tepat sasaran. Pasalnya, rumor berkembang dana bansos yang fantastis itu ternyata hanya mengalir kepada kelompok tertentu saja.

Hal tersebut dikhawatirkan bansos dijadikan "energi" kepentingan politik yang memiliki akses dengan pihak yang berwenang untuk mencairkannya.

"Selama ini, rumor negatif dana bansos terus muncul. Mulai dari isu jadi dana politik sampai didominasi kelompok daerah tertentu. Bansos kan dana sosial, sehingga tak bisa timpang peruntukkannya," kata Zukri.

Anggota Komisi A DPRD Riau ini menambahkan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Riau terhadap dana bansos APBD 2009 menjadi alasan dewan untuk mendalami dugaan penyimpangan bansos 2010.

Soalnya, dalam audit tersebut ditemukan potensi penyimpangan yang luar biasa dalam penggunaan dana bansos sebesar Rp 213 miliar. BPK menduga, kelompok penerima dana bansos sebagian besar tak memiliki identitas dan alamat yang jelas.

Selain itu, dana yang digelontorkan juga tak dipertanggungjawabkan. Hasil uji petik yang dilakukan BPK Riau, menemukan delapan dari sembilan organisasi penerima tidak memiliki alamat dan pertanggungjawaban yang jelas.

Hingga kini belum ada tindak lanjut yang jelas atas temuan mencurigakan tersebut. DPRD Riau bahkan belum menentukan langkah politik atas temuan audit.

Zukri menyatakan, pihak eksekutif tidak perlu khawatir untuk menyerahkan dana tersebut. Apalagi, dokumen yang diminta merupakan informasi publik. Menurutnya, bila pemprov tetap menahan data tersebut justru menimbulkan kecurigaan baru.

"Dokumen tersebut adalah informasi publik. Jadi tak perlu disembunyikan. Publik perlu tahu terhadap penggunaan anggaran," katanya.

Zukri membantah kalau dokumen tersebut akan menjadi alat dewan untuk menekan eksekutif. Permintaan data semata-mata sebagai dasar DPRD melakukan fungsi pengawasan anggaran dan kebijakan pemda. Ia juga berharap, kajian atas dokumen tersebut bisa menghasilkan format pendistribusian dana bansos yang tepat untuk mencegah penyalahgunaan dana publik.

"Data aliran dana tersebut adalah instrumen pengawasan. Jadi, jangan jadi takut," kata Zukri.

Dalam APBD 2011, dana bansos yang dianggarkan mencapai Rp 275 miliar. Dana tersebut belum termasuk dana hibah (*)